Sembilan belas tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Agustus 1996 diselenggarakan sebuah diskusi yang bertemakan “Eksistensi Agama dan Kuasa Negara” yang diselenggarakan oleh Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) di Hotel Sahid yang dimana dalam acara ini turut hadir beberapa tokoh ternama yang juga turut serta dalam menangani bidang Hak Asasi Manusia, diantaranya Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur, Guru Besar Unair dan anggota komnas HAM Prof Soetandyo Wignjosoebroto, peneliti utama agama dan kemasyarakatan DEPAG Johan Effendi, Pakar Politik UNAIR Dr Ramlan Surbakti, MA, dan Pakar Hukum Administrasi FH UNAIR bapak Dr Haryono SH MCL.
diselenggarakannya acar diskusi ini tak lepas dari adanya kasus penolakan kantor Catatan Sipil Surabaya atas pernikahan Budi Wijaya dan Lani, alasan Catatan Sipil menolaknya dikarenakan perkawinan mereka dilaksanakan secara Khong Hu Chu yang dimana cara seperti ini pun tidak tercatat di Undang-Undang pada saat itu dan dianggap tidak sah.
Hal ini pun memancing pendapat Gus Dur dalam menanggapi permasalahan ini. “Rasa beragama yang sebenarnya adalah memberikan hak dan memperhatikan hak kepada orang lain. Tapi kita sering tidak begitu”, ujar Gus Dur.
Gus Dur sendiri juga beranggapan bahwa Khong Hu chu merupakan sebuah agama atau bukan yang menentukan adalah pemeluknya, bukan orang lain atau instansi. Negara juga harus Obyektif dalam menilai agama. Gus dur sendiri menilai bahwa kasus ini akibat dari adanya formalisme agama.
“Pemeluk Agama tidak boleh menilai baik dan benar terhadap agama lain. Ketentuan baik dan benar datangnya dari Tuhan bukan manusia”