Ini merupakan kisah yang diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya dengan judul Berburu Lahan Tenggilis, hal. 121.
BERBURU LAHAN TENGGILIS (Bagian 1)
Perkembangan fisik yang pesat ternyata harus berlomba dengan peningkatan jumlah mahasiswa. Ketika gedung D itu selesai dibangun, jumlah mahasiswa pada tahun akademik 1983-1984 sudah mencapai 4.736 orang, dan menjadi 5.380 pada tahun akademik berikutnya (1984-1985). Kampus Ngagel pun mulai terasa sumpek. Lahan bekas tempat pembuangan sampah di depan kampus Ngagel menjadi incaran utama untuk pengembangan kampus Ubaya.
“Saya menyampaikan kepada Bung Anton Prijatno, yang ketika itu karier politiknya sedang naik daun (saat itu, anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur dari Fraksi Karya Pembangunan), agar meminta tanah bekas timbunan sampah di depan Kampus Ngagel kepada Pemda Kotamadya Surabaya untuk lokasi Kampus Ubaya masa depan. Pikir saya, kalau Yayasan Ubaya itu diketuai oleh Walikotamadya serta sarat dengan elit politik Surabaya dan Jawa Timur, tentu gagasan saya itu ‘logikanya’ dapat diterima dan dilaksanakan. Tapi kenyataannya justru tidak berjalan seperti ‘logikanya’, ” kata Tjuk K Sukiadi, yang banyak membantu pengembangan Ubaya pada era 1976-1980.
Menurut para petinggi kotamadya Surabaya, kata Tjuk mengutip ucapan Anton, lokasi tempat pembuangan sampah itu akan dimanfaatkan menjadi kebun bibit, dan pada saatnya akan dijadikan “taman dan hutan kota”. ” Karena itu saya adalah orang yang paling ‘kesel dan pegel’ ketika kemudian dalam perkembangan kota Surabaya harus melihat kampus utama UBAYA dibangun di Tenggilis, sedangkan sebagian besar kebun bibit ‘dikorbankan’ untuk membangun kumpulan ruko yang sama sekali jauh dari estetika, dan sedikit sekali memberikan nilai tambah bagi Kota Surabaya, ” ujarnya.
Pada tahun 1980, Hany Natawidjana (waktu itu menjabat Kepala Biro Sekretariat), Ma’mur (saat itu Wakil Rektor II), dan Henky Supit (ketika itu staf khusus pimpinan universitas) ditugaskan mencari lahan baru untuk pengembangan Ubaya. ” Kami memang bangga punya gedung, tapi kok lama-lama kelihatan sumpek. Saya masih ingat , Pak Henky Supit dan Pak Ma’mur mengajak membeli tanah untuk mengembangkan Ubaya. Saya lalu ikut cari lokasi. Kebetulan wakti itu saya tinggal di Tenggilis, dan saya lihat ada lahan kosong milik Yayasan Kas Pembangunan (YKP) di dekat rumah. Kemudian saya laporkan ke Pak Ma’mur, dan belau setuju dengan pertimbangan, daripada membeli tanah dari orang yang belum tahu juntrungnya, dan kami bisa dituduh kolusi soal harga, lebih baik membeli tanah YKP. Harganya sudah pasti jelas. Setelah kami survei, ternyata juga disetujui oleh Ketua Yayasan, ” kata Hany Natawidjana. ….. (BERSAMBUNG BAGIAN 2)
Sumber :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998”, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999.