Ini merupakan kisah yang diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya dengan judul Berburu Lahan Tenggilis, hal. 121.
BERBURU LAHAN TENGGILIS (Bagian 3)
Pada Desember 1983, diatas sebagian lahan itu dibangun dua unit gedung kampus semi permanen dengan dinding batako, masing-masing enam dan tujuh blok. Setiap blok terdiri dari dua ruangan, sehingga seluruhnya 26 ruangan, ditambah satu ruang perpustakaan, musala, delapan kamar mandi, dan satu kantin. Luas lantai 3.159 meter persegi. Banguna gedung kampus baru ini selesai pada Mei 1984.
Ketua Umum Yayasan, Moehadji Widjaja, ketika meninjau kampus baru itu didampingi Ketua Harian Yayasan, Stany Soebakir, mengakui, kampus tenggilis ini memang terpencil. “Tapi diharapkan para mahasiswa tidak berkecil hati. Pemerintah sudah memikirkan sarana jalan. Sekarangpun bisa dicapai melalui Jl. Raya Rungkut dari sebelah timur, atau melalui Jl. Raya Kendangsari dari arah selatan, dan dari barat utara bisa lewat Nginden dan Prapen,” kata Moehadji kepada sebuah harian terbitan Surabaya.
Pada tahun akademik 1984-1985, Fakultas Ekonomi pindah dari Kampus Ngagel ke kampus baru di Tenggilis. Fasilitas ruang kuliah mampu menampung sekitar 1.796 mahasiswa.
Sampai akhir 1984, Ubaya telah memiliki gedung kampus di Ngagel yang cukup representatif, ditambah pengembangannya di Tenggilis. Pembangunan fisik yang dilakukan Ubaya sejalan dengan fase pengembangan PTS yang dicanangkan Direktorat PTS, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pengembangan PTS dilakukan melalui tiga fase, masing-masing berjangka lima tahun. Pada 1976-1980 merupakan fase kesadaran; 1981-1985, fase fisik, PTS diharapkan memiliki gedung sendiri; 1986-1990, fase akademik, meningkatkan jumlah, mutu dosen tetap, administrasi akademik, dan suasana proses belajar mengajar yang lebih baik.
Akhir dari tiga fase ini diikuti dengan keluarnya SK Dirjen Dikti No. 141/D/Q/1989 tentang Pedoman Evaluasi dan Akreditasi PTS, yang harus dipenuhi dalam waktu dua tahun (1991). Bagi PTS yang tak mampu memenuhi kriteria akreditasi itu akan terkena sanksi penurunan status, sedangkan yang berstatus terdaftar menjadi “tidak terdaftar” atau bubar.
Sumber :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999.