Pusat Arsip dan Museum UBAYA
LOADING
Cikal Bakal (bagian 1)
April 16, 2020

Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” CIKAL BAKAL” pada hal. 6-12

CIKAL BAKAL (Bagian 1)

Universitas Surabaya memang lahir dalam keterbatasan. Kelahirannya dikukuhkan Akte Notaris Djoko Soepadmo, S.H., No. 25, 16 April 1968. Akte Notaris ini mengukuhkan keputusan rapat Yayasan Perguruan Tinggi Trisakti Surabaya, 3 April 1968, yang mengubah nama Yayasan Perguruan Tinggi Trisakti Surabaya menjadi Yayasan Universitas Surabaya. Ubaya merupakan kelanjutan Usakti yang didirikan para tokoh masyarakat , tokoh pemerintahan , pendidikan, dan pengusaha Surabaya pada 6 Maret 1966. Kelahiran Usakti dikukuhkan  Akte Notaris Djoko Soepadmo, S.H., No. 9, tanggal 7 Maret 1966. Perjalanan universitas ini sebelum menjadi Ubaya terpenggal menjadi dua periode, Era Orde Lama (1960-1965), dan Era Orde Baru (1966-1968), dengan pengelola yang berbeda, terutama secara ideologis.

Pada 1960, berdiri Universitas Saweri Gading (USG) yang memiliki dua fakultas, yakni Farmasi dan Kedokteran Hewan. Kantor Pusat Universitas di rumah dr. Oe Soen Ie, Jl. Undaan Kulon. “Dalam iklan di surat kabar disebutkan USG merupakan cabang dari Ujung Pandang. Dosen yang mengajar disebutkan antara lain Prof. dr. Oey Hway Kiem (J.A Wibowo), dan prof. dr. R.M. Soejoenoes,” kata Suko Wasito yang ketika itu (1960) mengaku tertarik mendaftar sebagai mahasiswa Fakultas Farmasi USG setelah membaca iklan itu. Tapi saat perkuliahan baru berlangsung beberapa bulan, para mahasiswa merasa ada yang kurang beres, sebab fasilitas pendidikan tidak dapat dipenuhi oleh yayasan.

“Fakultas Farmasi seharusnya memiliki laboratorium, tapi ketika itu tidak ada. Setelah didesak mahasiswa, akhirnya yayasan mendirikan laboratorium di Jl. Jenggala, Sidoarjo. Tapi tidak ada peralatannya, yang ada hanya gelas dan reagent. Itu pun tidak lengkap,” kata Suko. Kemudian diketahui, universitas ini hanya didirikan oleh dua orang, dan bukan cabang dari Ujung Pandang. Nama-nama dosen yang dipasang di iklan dicantumkan begitu saja untuk menarik calon mahasiswa, tanpa persetujuan yang bersangkutan.

“Pengelolaan keuangan dan administrasi universitas ketika itu juga kacau,’ kata Drs. Bayu Iswahjudi Subandono Putro, S.H. mahasiswa Fakultas Farmasi USG 1960, lulus dari Ubaya 1976 (Farmasi), dan 1986 (Hukum), kini dosen Fakultas Hukum. Kondisi ini menimbulkan keresahan mahasiswa dan dosen.Akhirmya para mahasiswa dan dosen mengadakan rapat membahas kelanjutan perkuliahan. “Kami diberitahu para dosen, kalau begini terus, kami tidak akan bisa menjadi apoteker. Karena itu kami pun terus mendesak yayasan, dan yayasan mengaku tak sanggup,” kata Suko yang kini anggota pengurus Yayasan Ubaya (1985-sekarang). Akhirnya sebagain dosen diberhentikan oleh yayasan. Sebagian lagi serentak mengundurkan diri. Para mahasiswa kemudian ditampung dan diberikan semacam “kursus” oleh para dosen secara sukarela, agar tak menganggur. “Kami menyewa gedung SD di Jl. W.R. Supratman,” kata Suko, aktivis mahasiswa saat itu.

Para dosen menganjurkan agar para mahasiswa mencari yayasan yang bersedia mengelola fakultas. “Saya bersama beberapa aktivis berusaha sekuat tenaga dengan menghubungi Universitas Kristen Petra dan Universitas Katolik Widya Mandala, tapi keduanya tak bersedia,” katanya menambahkan. Status fakultas sempat terkatung-katung. Salah seorang dosen, Phoa Tek Djien, berinisiatif menemui salah seorang tokoh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI) Jawa Timur, membicarakan kesanggupan BAPERKI mengelola Fakultas Farmasi. Ketika itu BAPERKI juga memiliki Universitas BAPERKI di Jakarta. Akhirnya pada 1960, para mahasiswa Fakultas Farmasi eks-USG ditampung oleh Universitas yang didirikan BAPERKI dengan nama Universitas BAPERKI Surabaya (UBS). Mahasiswa Fakultas Kedokterran Hewan eks-USG digabung ke Fakultas Farmasi.

BAPERKI – sebagaimana dikemukakan Dr. Daniel Dhakidae – adalah organisasi yang didirikan warga keturunan Tionghoa untuk kepentingan pembauran yang menganut prinsip integrasi, yakni mempertahankan pluralisme di Indonesia. BAPERKI melihat, persoalannya bukan bagaimana meninggalkan ketionghoaan seseorang, tapi dalam ketionghoaannya berintegrasi ke dalam bangsa Indonesia sehingga keindonesiannya adalah mozaik yang terdiri berbagai etnis. Karena itu, semua orang Tionghoa yang mengakui  Indonesia sebagai negaranya adalah sah sebagai seorang Indonesia. Namun dalam perjalanannya, BAPERKI lebih banyak beranggotakan mereka yang berorientasi komunis (kiri), dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Soe Hok Gie, 1998:52) ……… BERSAMBUNG BAGIAN 2

Referensi :

SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999.