Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” CIKAL BAKAL” pada hal. 6-12
CIKAL BAKAL (Bagian 2)
Berseberangan dengan BAPERKI, pada Agustus 1962, lahir sebuah organisasi yang disponsori ABRI untuk menggalang kesatuan di kalangan keturunan Tionghoa melawan BAPERKI, yakni Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) – yang pada 1977 berubah menjadi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB). Lembaga ini mengembangkan paham asimilasi yang berbeda dengan paham integrasi BAPERKI. Paham asimilasi ini menginginkan keturunan Tionghoa meleburkan diri (asimilasi) seluruhnya dan sehabis-habisnya ke dalam kehidupan penduduk pribumi (Soe Hok Gie, 1998:51-52, 140). Atau yang menurut istilah Leo Suryadinata, warga keturunan Tionghoa meleburkan dirinya ke dalam suku-suku yang ada di Indonesia sedemikian rupa sampai pada tingkat ” to abandon their Chineseness” (menanggalkan ketionghoaannya) (Su1ryadinata, Ed., 1979:124).
Namun Bung Karno ketika itu berpendapat tak ada bedanya antara asimilasi dan integrasi. Solidaritas nasional dan kesatuan nasional hanya dapat diperjuangkan melalui hak yang sama di antara berbagai suku dan kelompok peranakan. Bung Karno bercita-cita supaya suatu ketika ras Indonesia hanya didukung oleh suatu bangsa yang bulat. bagi Bung karno, nation building tidak bisa tercapai dengan adanya minoritas (Soe Hok Gie, 1998:55, 150).
Kegiatan perkuliahan UBS menggunakan gedung di Jl. Bibis 25-27, juga di kantor BAPERKI Jl. Argopuro 10, dan Gedung Bioskop Maxim (kemudian menjadi Indra), Gedung Perhimpunan Olahraga Naga Kuning, Jl. Pasar Besar Wetan. Kegiatan praktikum dilakukan di Jl. Dharma Rakyat dan Jl. Banyuurip. Keduanya bekas kuburan Tiong-hoa. Pada 1961, UBS membuka Fakultas Ekonomi, dan tahun berikutnya (1962) Fakultas Hukum. Setelah didirikan UBS, status kemahasiswaan dan kegiatan belajar mengajar tidak lagi terkatung-katung, tapi tidak berarti “penderitaan” mahasiswa berakhir.
“Sebenarnya BAPERKI itu kasarannya tidak banda apa-apa, hanya menyediakan gedung Bibis,” kata Suko, yang lahir di Bojonegoro, 1940. Mahasiswa harus berjuang menggali dana untuk membeli perlengkapan perkuliahan, seperti kursi, mikroskop, timbangan, dan sebagainya. Untuk itu, antara lain, mereka menyelenggarakan pergelaran balet yang dilatih Marlupi Sijangga (Lo Mei Lie). Setiap pementasan dibuat buku kenang-kenangan yang isinya antara lain memuat iklan. Juga menggelar pentas seni drama (tonil) mahasiswa dengan sutradara The Tjhoen Swie. Selain itu mereka juga menjual tiket bioskop ke sekolah-sekolah dan universitas untuk pertunjukan khusus pada setiap senin siang di Bioskop broadway (kemudian diubah Arjuna. Kini sudah tutup) di Jl. Embong Malang. “Saya kenal baik dengan seorang distributor film. kami memutar film-film bagus. Keuntungannya kami sumbangkan ke universitas,” kata Suko Wasito.
Saat perpeloncoan (kini Opspek), mereka membuat amplop berlogo perpelonoan universitas. Para mahasiswa baru diwajibkan menjual amplop. Hasilnya diserahkan ke universitas, sebagian untuk membiayai kegiatan perpeloncoan. Sedangkan kursi kuliah, sebagian diperoleh dari bantuan seorang pengusaha penggergajian kayu di Jl. Ngaglik, Tjhie Ing Ie. “Ia menyumbang sekitar 400 kursi kuliah,” kata Suko. Sebagian lagi para mahasiswa membelinya dari hasil penggalian dana melalui berbagai kegiatan tersebut.
Pada 1963, UBS berubah nama menjadi Universitas Res Publica (untuk rakyat) Surabaya. “Waktu saya Tingkat I, seluruh Universitas BAPERKI di Indonesia diganti menjadi Universitas Res Publica. Ini merupakan kebijakan pimpinan BAPERKI,” kata Drs. ec. Wibisono Hardjopranoto, M.S., yang menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UBS pada tahun 1963, kini Direktur Program Pasca Sarjana, dan ketua Program Studi Magister Manajemen.
Universitas BAPERKI di Jakarta pun berganti nama menjadi Res Publica. Nama ini pemberian Presiden Soekarno. “Ini hanya perubahan nama. Orang-orang yang duduk di yayasan tetap sama. Mungkin nama Universitas BAPERKI dianggap kurang progresif-revolusioner,” kata Martinus Gardjito, S.H., mahasiswa Fakultas Hukum UBS pada 1962, angkatan pertama. Tapi yang pasti, meski telah berganti nama, masalah dana masih saja menjadi problema. Aktivitas mahasiswa menggali sumber dana saat masih bernama UBS, tetap berlanjut. ….. BERSAMBUNG BAGIAN 3
Referensi :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999