Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya dengan judul ”Menegakkan Pilar Idealisme” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 13-16
MENEGAKKAN PILAR IDEALISME (Bagian 1)
Ketika meletus G-30-S/PKI, aktivitas semua sekolah Tiong-hoa (sekolah yang menggunakan bahasa pengantar Tionghoa) dan perguruan tinggi yang menjadi sarang PKI (Ureca) praktis ditutup. gedung-gedung sekolah itu diambil alih para mahasiswa anti-komunis yang tergabung dalam Resimen Mahasurya (Resimen Mahasiswa Surabaya), serta juga organisasi kemahasiswaan dan organisasi masyarakat non-komunis lainnya. Beberapa gedung sekolah sempat dibakar massa, seperti Chung Hua Chung Hsueh (Chung-Chung), di Jl. Baliwerti.
Kepala Staf Resimen Mahasurya, R. Djoko Soemadio, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga, mengirim pasukan untuk mengambil alih markas CGMI di Jl. Raya Gubeng. “Tapi markas itu sudah lebih dulu diambil alih HMI. Tapi sebelum itu, kami sudah berhasil menyita dokumen-dokumen CGMI yang memuat nama-nama anggotanya,” kataDjoko, yang pada 1962 menjabat Ketua GMNI Surabaya, lalu Ketua GMNI Jawa Timur. Daftar nama anggota CGMI itu kelak sangat berguna dalam melakukan screening dan clearance sivitas akademika Ureca.
Kemudian terdengar informasi, Kampus Ureca Jakarta dibakar massa. Gedung Ureca Jakarta dibakar massa pada 16 Oktober 1965 (Marga T., 1975:175-177). Suko Wasito mengusulkan kepada Djoko agar Kampus Ureca Surabaya diambil alih. “Saya berkali-kali minta kepada Mas Djoko agar Ureca diambil alih saja. Sebab kalau dibakar, kita akan mengalami kemunduran, ‘ katanya. Kemudian Djoko berupaya bertemu Letkol. R. Soekotjo, Komandan Komando Militer Kota Besar Surabaya (KMKB, setingkat Korem saat ini) untuk membicarakan soal pengambilalihan tersebut.
“Ketika hal itu saya konsultasikan kepada Pak Kotjo, beliau senang sekali kalau di Surabaya bisa diantisipasi lebih dulu. Hanya saja pesan Pak Kotjo kepada saya dan Suko Wasito, agar dalam pengambilalihan itu tak terjadi pertumpahan darah. Yang bergerak ke sana waktu itu kebanyakan teman-teman GMNI yang anggota Mahasurya,” kata Djoko. gedung Kampus Ureca itu diambil alih, menurut Suko, agar tidak dirusak dan dibakar massa. “Karena Trisakti Jakarta dibakar, kami mengambil inisiatif, ambil alih dulu, lalu serahkan ke Pepelrada supaya tak dirusak,” ujarnya.
Dalam konteks inilah Djoko Soemadio dan kawan-kawan yang tergabung dalam Resimen Mahasurya terpanggil untuk ikut menyelamatkan bangsanya dari ancaman komunisme. Di samping bersama rekan-rekan dari Resimen Mahasurya dan GMNI, Djoko dibantu para mahasiswa Ureca sendiri yang non-komunis ketika mengambil alih Kampus Ureca di Jl. Bibis, eperti Suko Wasito, dan lainnya. Saat pengambilalihan itu, Djoko menemukan buku-buku bernafaskan komunisme. Buku-buku itu dibakar. Tapi nasib Wibisono, yang juga aktivis GMNI, kurang beruntung. “Saat itu ada berkas-berkas yang dibakar, dan ada ijazah yang hilang, termasuk ijazah SMA saya. Jadi sampai sekarang saya hanya surat tanda lulus SMA (bukan ijazah),” katanya.
Saat mereka menyerbu kampus itu, ternyata perlengkapan laboratorium, seperti mikroskop dan timbangan, sudah tak ada.” Lalu saya mengambil inisiatif, pada malam harinya saya datangi rumah salah seorang anggota Yayasan Ureca di Jl. Dr. Soetomo,” kata Suko yang datang berdua bersama teman sekampungnya di Keputran Pasar Kecil. Saat itu, kebetulan sedang berlangsung rapat yayasan. Di situ hadir anggota yayasan lainnya, serta aktivis CGMI.
“Saya mengancam, kalau besok siang pukul 12.00, alat-alat laboratorium tidak dikembalikan, rumah anggota yayasantersebut di Jl. Dr. Soetomo, dan anggota lainnya di Tegalsari akan saya serbu,” ungkap Suko. Esok pagi, ia didatangi, dan peralatan laboratorium dikembalikan, tapi tidak semuanya. Ia melaporkan soal ini kepada Soekotjo. Soekotjo menugaskan Letnan Effendi untuk meminta semua peralatan laboratorium itu. Effendi mendatangi sekretaris yayasan yang juga dosen Ureca, dan menodongkan pistol ke kepalanya. “Kalau tidak diserahkan tak dor (aku tembak),” katanya mengancam. Sekretaris yayasan itu kemudian menemui Suko, dan mengeluh, “Saya ini tidak tahu apa-apa. Dulu saya disuruh-suruh jadi anggota yayasan, tapi sekarang setelah saya jadi sekretaris, dan meletus G-30-S, kok diembrekno (dilemparkan) ke saya”. “Ya, sudah tak apa-apa, tapi kalau peralatan itu tidak dikembalikan, akan kami serbu,” kata Suko. Besoknya, sisa mikroskop dan timbangan dikembalikan. Peralatan laboratorium itu kelak digunakan untuk praktikum mahasiswa Usakti.
….. Bersambung Bagian 2
Referensi :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999