Pusat Arsip dan Museum UBAYA
LOADING
Merajut Cita-Cita (Bagian 2)
April 21, 2020

Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” MERAJUT CITA-CITA” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 17-22

Merajut Cita-Cita (Bagian 2)

Bersamaan dibukanya kembali bekas kampus Ureca dengan pengelola yang berbeda di era Orde Baru, dilakukan screening dan clearance (semacam litsus sekarang) terhadap seluruh sivitas akademika eks-Ureca, karena diyakini tak semua sivitas akademika eks-Ureca berpaham komunis dan menjadi antek PKI. Hanya mereka yang lulus screening dan clearance yang bisa diterima di Usakti. Suko Wasito, Abdul Rachman Mattalitti, Wibisono, dan Djoko Sumadio dari GMNI, juga Martinus Gardjito dari PMKRI, bersama tokoh mahasiswa lainnya yang non-komunis dilibatkan sebagai anggota tim pelaksana screening.

” Mahasiswa Res Publica yang tersangkut G-30-S/PKI sekitar 70%. Sedangkan mahasiswa non CGMI-Perhimi yang tersangkut, kecil jumlahnya,” kata Wibisono. Mahasiswa yang lulus screening dikumpulkan di Unair, dilatih baris-berbaris, dan gerak badan (senam), serta latihan kedisiplinan untuk beberapa lama. Kemudian mereka dikembalikan ke kampus masing-masing untuk memulai kegiatan belajar-mengajar.

Sementara itu, di eks-Ureca Jakarta pun berlangsung hal yang tak jauh berbeda. Pada pertengahan November 1965, para mahasiswa yang telah lulus screening mendaftar kembali kepada tim carataker. Seorang mahasiswa harus direkomendasikan oleh dua mahasiswa, ia tak tersangkut G-30-S/PKI. Seorang mahasiswa hanya boleh memberikan dua tanda tangan rekomendasi. Nama Ureca pun menjadi Universitas Trisakti – juga pemberian dari Presiden Soekarno. Saat itu belum ada rektor, tapi dibentuk presidium yayasan, salah satu anggotanya, Drs. Ferry Sonneville, tokoh bulutangkis nasional. Usakti memiliki lima fakultas, yakni Hukum, Ekonomi, Teknik, Kedokteran Gigi dan Kedokteran. Sedangkan Fakultas Sastra eks-Ureca dihapus, mahasiswanya ditampung di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Marga T., 1975:191).

Di Surabaya, Usakti juga dipimpin oleh sebuah presidium yang terdiri lima orang, yakni Kolonel Corps Kehakiman Chasan Doerjat, S.H., Rektor Universitas Airlangga; Letkol CHK. Soenarjo, S.H., ; Prof. Mr. R. Boedisoesetya; Prof. Oey Pek Hong; dan Kolonel Suwasono. “Ketua Presidiumnya, Pak Chasan Doerjat, dan Pelaksana Harian Presidium Pak Soenarjo. Tapi beberapa lama kemudian, Pak Chasan tidak lagi menjabat. Lalu Pak Soenarjo bertindak seolah-olah dialah yang memimpin presidium,” kata Suko.

Saat itu Soenarjo juga merangkap sebagai Dekan Fakultas Ekonomi. Sedangkan Dekan Fakultas Hukum, Soetandyo Wignjosoebroto, M.P.A. (ketika itu dosen Fakultas Hukum Unair), dan Dekan Fakultas Farmasi, Drs. Soetarjadi, Apt. (kini Guru Besar Unair, dan Doktor Farmasi). Semula Usakti Surabaya ingin mengikuti jejak Usakti Jakarta, yang memiliki Fakultas Kedokteran. “Karena itu saya dimasukkan dalam yayasan yang akan mengelola Universitas Trisakti, untuk mendirikan Fakultas Kedokteran,” kata Prof. Soejoenoes, menceeritakan keterlibatannya dalam pendirian Yayasan Perguruan Tinggi Trisakti Surabaya. Tapi sayang, rencana itu hingga kini belum terwujud.

Ketika kegiatan belajar mengajar dimulai kembali dengan udara politik yang sama sekali baru, meski dengan bangunan tua kampus yang tetap pengap. Universitas Trisakti mampu meraih mahasiswa sekitar 300-an untuk tiga fakultas (Farmasi, Ekonomi dan Hukum). Jumlah ini terdiri mahasiswa eks-Ureca yang lolos screening ditambah mahasiswa baru. “Memang pada awalnya, dosen begitu ketakutan dengan peristiwa G-30-S/PKI. Mereka tidak mau mengajar, takut dilibat-libatkan. Jadi dosennya sangat sedikit, mahasiswa pun takut masuk kuliah,” kata Suko.

Kecuali itu, Usakti hanya mampu membayar dosen ala kadarnya, yang kadang untuk uang transpor saja tidak cukup. Untuk mengatasi kekurangan dosen itu, disamping merekrut dosen luar biasa dari berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) – Unair, ITS dan IKIP – dan instansi pemerintah, militer dan swasta, para mahasiswa senior juga didayagunakan sebagai asisten mahasiswa. ” Mahasiswa senior ini yang kemudian mengajar pada kelas di bawahnya. Karena tak ada dosen yang bersedia untuk mengajar,” ujarnya.

…… Bersambung Bagian 3

Referensi :

SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999.