Pusat Arsip dan Museum UBAYA
LOADING
Hijrah ke Ngagel (Bagian 1)
April 30, 2020

Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” Hijrah ke Ngagel” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 33-37

 HIJRAH KE NGAGEL (Bagian 1)

Namun “ujian” yang dihadapi Ubaya belum juga usai. Kini sumber pendapatan utamanya terguncang. Jumlah mahasiswa terus melorot tajam. Pada 1968, Ubaya masih memiliki mahasiswa (Farmasi, Hukum dan Ekonomi) sebanyak 853 orang, tapi dari tahun ke tahun jumlah itu makin merosot. Animo calon mahasiswa pun kian surut. Pada 1969 turun menjadi 580 mahasiswa. Jumlah ini bertahan hinga 1971, lalu anjlok lagi pada 1972 menjadi 490 mahasiswa, dan pada 1973 menjadi 402 orang.

Puncaknya, pada 1974, mahasiswa Ubaya hanya tersisa 329 orang. Fakultas Farmasi yang sebelumnya menjadi favorit, kian sulit menjaring calon mahasiswa – apalagi dua fakultas lainnya (Hukum dan Ekonomi). “Fakultas Farmasi waktu itu merupakan fakultas favorit dan ‘primadona’ di Ubaya, dengan jumlah pendaftar yang selalu melampaui dua fakultas lainnya. Diharapkan animo calon mahasiswa bisa makin melejit, dan ujian negara yang lama ditunggu para mahasiswa bisa segera terlaksana. “Tapi sayang harapan itu tinggal impian bahkan menjadi mimpi buruk yang mencekam,” kata Dr. dr. Hari K. Lasmono, M.S., yang menjadi dosen Fakultas Farmasi sejak 1970.

Pada 1968, masih terdapat 194 pendaftar untuk Fakultas Farmasi. Setelah melalui testing, diterima 89 mahasiswa. Pada 1969, masih stabil, ada 198 pendaftar, diterima 52 orang. tahun 1970, jumlah pendaftar menurun menjadi 168, diterima 53 orang. Pada 1971, jumlah pendaftar makin menurun, 159 orang, diterima 53 mahasiswa. Dan pada 1972, hanya 98 pendaftar, diterima 27 mahasiswa. Puncaknya, pada 1974, hanya tersisa 21 pendaftar, dan yang diterima 8 mahasiswa. Jumlah mahasiswa keseluruhan (tiga fakultas) pada 1974 hanya 329 orang, dengan jumlah drop out 127 mahasiswa, sehingga pada 1975 hanya terdapat 202 mahasiswa lama. Pada 1974, jumlah mahasiswa baru yang berhasil dijaring hanya 53 orang, yakni Farmasi (8), Hukum (14) dan Ekonomi (31).

Pada 1970, Wibisono HArdjopranoto, yang ketika itu Tingkat IV Fakultas Ekonomi, hanya memiliki enam rekan mahasiswa setingkat, padahal jumlah mahasiswa keseluruhan, 580 orang. Mereka kadang kuliah di rumah dosen. “Jadi ya kayak jagongan bertamu. Kalau empat tidak masuk, ya tinggal tiga orang kayak jagongan. Ini terjadi karena selain ruangan kuliah terbatas, dosennya juga tak mau datang ke kampus karena masalah transpor. Jadi mahasiswanya yang datang ke rumah. Yang menarik, ada dosen yang memberi kuliah di rumahnya. Kami datang tapi kami ditinggal pergi. Lalu istrinya yang mendiktekan bahan kuliah,” kata Wibisono.

Mengapa Ubaya menjadi begitu terpuruk ? Pertama, kondisi perekonomian masyarakat saat itu memang relatif masih sulit. Meski Jenderal Soeharto telah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS (sebelumnya, pada 12 Maret 1967 dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia), namun laju inflasi pada 1968, masih relatif tinggi, 85%. Sebelumnya , pada 13 Desember 1965, Pemerintah melakukan devaluasi uang rupiah (Penetapan Presiden No. 27/1965), uang Rp. 1000,00 menjadi Rp. 1,00. Kebijaksanaan ini ternyata tak berhasil memperbaiki keadaan ekonomi, bahkan inflasi terus meningkat (Setneg RI, 1981:196-197).

Ketika itu inflasi mencapai 226%, kemudian menjadi 650% pada 1966. Akibatnya, rakyat makin menderita, harga-harga membumbung tinggi, terutama harga barang kebutuhan pokok. Akhirnya pada 12 Januari 1966, tercetus Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat, yang lebih dikenal dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang dipelopori KAMI dan KAPPI. Tritura berisi : pembubaran PKI; Pembersihan kabinet dari unsir-unsur G-30-S/PKI, dan penurunan harga/perbaikan ekonomi. Meski inflasi berangsur-angsur bisa ditekan, sehingga menjadi 120% pada 1967, namun kondisi ekonomi masih sulit (Setneg RI, 1981:196-197).

Menjelang akhir 1967, harga sandang pangan melonjak. Mahasiswa dan pelajar kembali turun ke jalan menuntut penurunan harga-harga, disamping menuntut pembersihan terhadap sisa-sisa Orde Lama. dalam tahun pertama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I (1969/1970), laju inflasi sebesar 10,6%; 1970/1971 menjadi 7,8% ; dan dalam tahun 1971/1972 turun menjadi 0,9%. Tapi pada tahun keempat (1972/1973) laju inflasi kembali melonjak menjadi 20,7%. Ini disebabkan musim kemarau panjang pada akhir 1972. Pada 1973/1974, inflasi meningkat lagi mencapai 47,4%. Dalam tahun tersebut kenaikan harga tak hanya dalam sektor pangan, tapi juga meliputi harga barang-barang pada umumnya (Setneg RI, 1981:196-197;Setneg RI 1980:109)

……………………. Bersambung Bagian 2

Referensi :

SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradiagma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999