Pusat Arsip dan Museum UBAYA
LOADING
Hijrah ke Ngagel (Bagian 2)
April 28, 2020

Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” Hijrah ke Ngagel” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 33-37

HIJRAH KE NGAGEL (Bagian 2)

Dalam situasi ekonomi seperti itu, biaya untuk menjadi mahasiswa – apalagi PTS – merupakan sesuatu yang mahal. Jenjang pendidikan ketika itu yang terbagi secara terminal, sarjana muda dan sarjana lengkap – belum terbagi jenjang sarjana (strata satu), dan pascasarjana (magister/strata dua, dan doktor/strata tiga) – menuntut pengorbanan tenaga, waktu dan biaya besar. Seorang mahasiswa yang telah lulus sarjana muda atau sarjana lokal, misalnya, masih harus menunggu relatif cukup lama untuk bisa mengikuti ujian negara, dan biayanya pun cukup mahal.

Itu pula sebabnya, sebagaimana dikatakan Dra. Anna Prana Chita Rijanto, M.S., saat ia bergabung sebagai dosen pada Fakultas Farmasi pada 1970, belum ada ujian negara untuk Fakultas Farmasi, sehingga mereka yang sudah lulus sarjana lokal memilih bekerja sebagai detailer, sebagian lagi pindah meneruskan kuliah ke luar negeri. Mereka yang telanjur bekerja sebagai detailer, sebagian enggan kembali meneruskan kuliahnya. Akibatnya, tingkat drop out pun cukup besar.

Kendati demikian, pertambahan jumlah mahasiswa secara nasional (PTN dan PTS) pada periode 1969-1973 mencapai 26,1%. Pada 1969 tercatat 262 ribu mahasiswa (100 ribu diantaranya mahasiswa PTS), menjadi 329 ribu pada 1973 (210 ribu di antaranya mahasiswa PTS) (Setneg RI, 1980:109;Widiastono, 1990:26).

Kedua, bagaimanapun bangunan fisik kampus yang dimiliki PTS selalu menjadi pertimbangan utama calon mahasiswa, bahkan menjadi “daya tarik” tersendiri. Sementara itu, pada 11 Maret 1968, Ubaya baru meletakkan batu pertama pembangunan kembali gedung kampus di Jl. Ngagel Jaya Selatan – yang bentuknya pun relatif sederhana, hanya satu unit, dan berada di kawasan yang ketika itu masih tergolong pinggiran kota – dan tak kunjung selesai hingga 1972. Sedangkan kondisi kampus Bibis sulit dijadikan modal untuk menarik animo calon mahasiswa, meski tiga universitas pernah lahir di bangunan tua itu. “Kalau ada penerimaan mahasiswa baru saat Masa Perkenalan Mahasiswa, Kami ke Ngagel. Kami tunjukkan ini lho kampusmu nanti. Ya sekedar untuk membesarkan hati,” kata Anton.

Tapi tuntutan segera memiliki kampus sendiri bukan sekadar untuk membesarkan hati mahasiswa, melainkan karena kondisi Kampus Bibis memang tak layak pakai, dan juga mahasiswa mulai bosan mengikuti kuliah dengan cara “nomaden”, serta untuk meningkatkan kemampuan bersaing dengan PTS lainnya. Ketika itu ada beberapa universitas swasta yang sudah memiliki sarana fisik relatif cukup baik, antara lain Universitas Katolik Widya Mandala, Universitas Kristen Petra, dan sebagainya. Namun keterbatasan dana membuat pembangunan Kampus Ngagel tersendat.

Pada saat itulah (1972), Ketua Dewan Mahasiswa, Anton Prijatno, mulai menggugat Ketua Yayasan yang juga Walikotamadya Surabaya untuk berbuat sesuatu agar pembangunan Kampus Ngagel segera bisa dirampungkan dan digunakan. “Kami mendesak lewat rapat yayasan. Ini gagasan dari Dewan Mahasiswa yang menampung aspirasi mahasiswa. Gagasan dari yayasan sendiri tidak ada. Sebab kampus di Bibis itu sumpek, dan mahasiswa banyak yang mengeluh,” ujarnya.

“Bapak ini kan walikota, kenapa sih menyelesaikan bangunan yang cuma segitu saja tidak bisa, kok yang diminta itu anggota yayasan dari unsur pengusaha,” kata Anton menggugat Ketua Yayasan Soekotjo.

“Begini Saudara Anton, Ubaya ini kan bukan milik Pemda, sehingga saya tak bisa memasukkan Ubaya dalam APBD. kalau itu saya lakukan, berarti universitas yang lain juga harus saya bantu. Kamu cari uanglah, nanti semuanya akan saya restui,” ujar Soekotjo menanggapi.

Tapi pada masa itu jumlah pengusaha belum sebanyak sekarang, sehingga upaya menggalang dana pun tak terlalu mudah. Namun tekad telah bulat, berbagai keterbatasan yang menghadang dicoba diterobos. Akhirnya, pada 1973 Kampus Ngagel berhasil diselesaikan. Fakultas Hukum dan Ekonomi, serta kantor Rektor dipindahkan ke kampus baru.

“Waktu itu belum ada listrik. Di sana-sini masih sampah. Apalagi di depan kampus itu masih dijadikan pembuangan sampah,” kata Anton. Belum tersedianya aliran listrik membuat Fakultas Farmasi tak ikut boyongan, antara lain karena kegiatan operasional laboratorium memerlukan listrik. Selain itu, bangunan Kampus Ngagel (Gedung B, minus B.1.1) yang hanya terdiri lima ruangan itu tidak cukup untuk menampung seluruh fakultas yang ada.

Meski kepindahan itu mampu melepaskan sivitas akademika dari kungkungan kepengapan, namun kondisi awal kampus baru belum terlalu menggembirakan. bangunan kampus masih dikepung timbunan sampah, bahkan di seberang kampus masih menjadi lahan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Pemda Kotamadya Surabaya. Kursi kuliah pun perlu diboyong dari Kampus Bibis. Tapi lebih memprihatinkan, selesainya gedung kampus yang sederhana itu ternyata tak serta merta diikuti meningkatnya animo mahasiswa baru. Namun semangat juang sivitas akademika Ubaya tak pernah surut.

Referensi :

SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradiagma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999