Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” Memompa Optimisme” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 48-53
MEMOMPA OPTIMISME (Bagian 1)
Meski situasi Ubaya diliputi keprihatinan, namun keberhasilannya menghantarkan para mahasiswa memasuki jenjang sarjana muda dan sarjana, memberikan kebahagiaan tersendiri bagi para pengelolanya, sekaligus melahirkan optimisme untuk tetap tegar menghadapi tantangan. Apalagi kenyataan menunjukkan, dalam situasi krisis apa pun selalu akan muncul optimisme. Di saat krisis menghimpit, pasti akan lahir banyak gagasan untuk mencari jalan keluar.
“Kita hanya akan berpikir bila timbul persoalan-persoalan, jika kebiasaan-kebiasaan lama tak berfungsi lagi untuk menjawab tantangan yang ada, dan dibutuhkan kebiasaan-kebiasaan baru,” kata The Crisis Theory of Thought (Teori Krisis Pemikiran). Krisis yang dimaksud adalah situasi yang menciptakan suatu problema dan menuntut kemampuan berpikir untuk menyelesaikannya (Siahaan, 1986:49).
Jumlah mahasiswa lama pada awal 1975 yang hanya 202 orang (setelah dikurangi jumlah drop out) menggiring Ubaya ke bibir jurang kebangkrutan. Fakultas Farmasi hanya memiliki 52 mahasiswa, sedangkan Fakultas Hukum dan Ekonomi masing-masing 75 mahasiswa. Jika jumlah mahasiswa masing-masing fakultas itu kian melorot, maka kebangkrutan pun sulit dihindari. Keputusan Dirjen Perguruan Tinggi No. 164/1967 tentang Persyaratan Guna Pembinaan Perguruan Tinggi Swasta, Pasal 3 ayat (3), menyatakan : “Jumlah mahasiswa untuk tiap fakultas ditetapkan minimal sejumlah 50 orang”. Apabila syarat ini tak bisa dipenuhi, Direktur Jenderal Perguruan Tinggi dapat menutup PTS yang bersangkutan.
“Kami waktu itu sudah mencari-cari, ini mau bubar atau bergabung dengan perguruan tinggi swasta lain, walaupun dulu belum ada istilah merger. Ini sudah dipikirkan di tingkat mahasiswa maupun yayasan. Bahkan kami mau kembali ke Trisakti Jakarta. Kami sudah mengirim orang ke sana,” kata Anton. Di saat sulit itu, justru ada keinginan Akademi Perkebunan (Akper) bergabung dengan Ubaya. Tapi tak mungkin dipenuhi, karena kondisinya sama-sama miskin, dan juga disiplin ilmu yang dikembangkan Akper tak ada di Ubaya.
“Parahnya keadaan keuangan Fakultas Farmasi saat itu membuat H. Ma’mur, Sekretaris Fakultas, melontarkan ide unik. Belau ingin membuka salon kecantikan di bekas perkantoran Fakultas Hukum dan Ekonomi di Kampus Bibis. Tapi ide itu tak pernah terealisasi,” kata Hari K Lasmono, dosen tetap Fakultas Farmasi sejak 1970, dan yang mempersiapkan pembukaan Fakultas Psikologi pada tahun akademik 1982-1983, sekaligus menjadi Dekan pertama (1982-1989) merangkap Wakil Dekan II.
Ada dua gagasan lainnya yang diusulkan Ma’mur, yang juga tak sempat terlaksana, pertama, membuka semacam program diploma bagi calon detailer yang waktu itu sedang “ngetren”. Kedua, membeli sebuah pabrik farmasi yang hampir bangkrut, PT USFI (PT Usaha Sarjana Farmasi Indonesia). “Tapi ditolak oleh pihak universitas, karena dianggap terlalu riskan. Pabrik ini kemudian dibeli oleh Ie Kiem Tie produsen minyak angin Cap Gadjah, dan masih jaya hingga sekarang,” kata Hari yang kelahiran Lasem, 1940.
Para mahasiswa pun tak tinggal diam menghadapi krisis yang melanda almamaternya. “Dewan dan Senat Mahasiswa mencetak semacam brosur tentang Ubaya, dibagi-bagikan ke semua SMA di Jawa Timur, Bali Lombok, Kalimantan, dan lainnya. Semua biaya transpor dan akomodasi ditanggung masing-masing mahasiswa secara pribadi yang dengan suka rela melaksanakan tugas itu,” ujar Harry Tanudjaja, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Farmasi periode 1972-1978.
Pada Oktober 1974, Dema Ubaya menerbitkan 10.000 buku brosur perkenalan Ubaya yang dibagikan gratis kepada pelajar SLTA kelas III se-Jatim dan Bali. Dana pencetakan diperoleh dari pemasangan iklan dalam buku tersebut, dan dikumpulkan pada September 1974. Ini tercantum pada Agenda Kegiatan Dewan Mahasiswa 1974-1976 dalam Laporan Pertanggungjawaban, September 1976.
“Waktu saya menjadi Ketua Dema, Ubaya kan gawat-gawatnya. Kami cari sponsor menerbitkan brosur. Ini kami sebarkan agar Ubaya dikenal. Brosur dicetak 20 ribu eksemplar, saya kirim ke SMA-SMA sampai ke Bali, juga Maluku. Brosur dikirim pakai kurir mahasiswa. Mahasiwa dari Bali kami panggil, suruh pulang kampung, diberi ongkos hasil sponsor, dan di kampungnya dia menyebarkan brosur. Ini kami lakukan dua tahun berturut-turut, 1974 dan 1975,” kata Eko Sugitario Chandra, S.H., M.Hum., Ketua Umum Dema Ubaya 1974-1976, kini dosen Fakultas Hukum.
Semangat mahasiswa untuk mempertahankan Ubaya amat tinggi. “Mereka sampai berkelana memasang spanduk ke daerah-daerah, seperti Banyuwangi, Mojokerto, Kediri dan lainnya. Mahasiswa tetap bersemangat meski dana yang diberikan yayasan tak sebanding dengan energi yang mereka keluarkan,” kata Eko yang sempat menjadi Dekan Fakultas Hukum 1984-1988. Hasilnya cukup positif. Jumlah mahasiswa baru yang diterima pada 1975 meningkat menjadi 182 orang. Tahun sebelumnya hanya 53 mahasiswa.
Selain itu, mahasiswa juga bergotong royong membenahi Gedung B. “Waktu Posma (Pekan Orienatsi Studi Mahasiswa) 1975, mereka membawa pasir dan batu bata, menambal, menyirami, dan lainnya. Mahasiswa juga pernah pinjam uang kepada kakaknya Anton untuk menambal genteng bocor Gedung B. Utang kapan bayarnya tidak jelas. Seperinya Anton yang menyelesaikan,” ujarnya.
Sebelumnya, Anton Prijatno ketika menjabat Ketua Umum Dema Ubaya 1971-1974 juga berupaya mencari solusi dengan caranya sendiri. Ia memanfaatkan Badan Kerja Sama (BKS) Dewan dan Senat Mahasiswa se-Surabaya, PTN maupun PTS, untuk menggugah perhatian pemerintah terhadap keberadaan PTS. Badan ini bertujuan mengkoordinasikan kegiatan unjuk rasa mahasiswa, didirikan pada 1970. Ketuanya dari Dema Unair, Sam Suharto (kini Guru Besar Fakultas Kedokteran Unair, dan aktif di DPD Tingkat I Golkar Jatim).
“Teman-teman di perguruan tinggi negeri kan sudah bisa hidup, dan bisa berpikir untuk yang lain-lain. Sedangkan kami masih berjuang untuk hidup, dan berusaha bagaimana untuk hidup. Anda enggak pernah memikirkan nasib kami ini, yang swasta ini. Ayo kita bikin supaya pemerintah bisa memikirkan perguruan tinggi swasta,” kata Anton kepada Abdul Kahar Suwandi, Ketua Dema Unair pengganti Sam Suharto, dan Ketua Dema ITS Syamsul Bakri.
………………… Bersambung Bagian 2
Referensi :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradiagma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999