Pusat Arsip dan Museum UBAYA
LOADING
Anomali Kampus Ngagel (Bagian 1)
May 04, 2020

Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” Anomali Kampus Ngagel” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 39-43

ANOMALI KAMPUS NGAGEL (Bagian 1)

Siang hari di musim penghujan, 1973. Hujan baru saja reda, matahari bersinar malu-malu. Tumpukan sampah yang basah mengeluarkan uap tipis terkena sinar matahari, aromanya menyengat. Hembusan angin dari selatan yang menyapu tumpukan sampah itu memaksa mahasiswa yang berada di ruang kuliah kampus baru, menutup hidung.

“Bayangkan, dosen mengajar, mahasiswa kuliah,pegawai kerja, semua diberi aroma sampah. Apalagi di depan kampus yang sekarang jadi pertokoan itu, juga sampah. Jadi kampus dikepung dua areal sampah, dari dalam dan dari depan. Baunya luar biasa, apalagi kalau habis hujan dan panas. Minta ampun baunya,” kata Wibisono Hardjopranoto. Aroma itu pula yang sempat dirasakan Sari Mandiana, S.H., M.S., mahasiswa Fakultas Hukum sejak Ureca (angkatan ketiga 1964). “Kadang jika ada angin yang berhembus ke arah kampus, kami kuliah sambil tutup hidung,” ujarnya.

Ini sebuah penderitaan baru, memang. Awal kepindahan ke Kampus Ngagel, terutama bagi sivitas akademika Fakultas Hukum dan Ekonomi, hanya membawa mereka keluar dari satu kepengapan masuk ke “kepengapan” lain. Tapi, “jer basuki mawa bea,” kata falsafah Jawa. Untuk hidup sejahtera dibutuhkan biaya atau pengorbanan. Dalam konteks perkembangan dan pembangunan Ubaya itu berarti untuk meraih cita-cita memiliki kampus sendiri, seluruh sivitas akademika – mulai pengurus yayasan, pimpinan universitas, fakultas. dosen, orangtua mahasiswa, karyawan, sampai mahasiswa – harus siap berpartisipasi dengan segala biaya yang mesti ditanggungnya. Dan biaya itu tak hanya berdimensi ekonomis, tapi juga sosial, misalnya aroma sampah yang menyengat. “Setiap pulang memberi kuliah di Kampus Ngagel, bau sampah itu masih melekat di kemeja saya,” ujar Drs. ec. Samekto Hartojo, ketika itu (1975), dosen luar biasa mata kuliah Pengantar Ekonomi Perusahaan.

Bentuk bangunan Kampus Ngagel ketika itu sangat sederhana, hanya satu unit memanjang dari selatan ke utara, berada di sisi timur (gedung B sekarang, minus B.1.1) “Bangunannya masih sempit dan berbentuk lorong, di depannya ada tempat pembuangan sampah. Kalau minum teh, jika tak ditutupi selalu ada lalat yang hinggap,” kata Mukani Siswoyo, yang mulai bergabung dengan Ubaya sebagai tenaga administrasi pada 1968. Sebelumnya pria kelahiran Kediri, 22 November 1949 ini bekerja sebagai loper koran melayani kawasan Jl. Diponegoro. Kini ia menjabat Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Psikologi.

Ketika itu Kampus Ngagel belum bisa didayagunakan secara maksimal. Segalanya serba terbatas. Kegiatan perkuliahan pun hanya bisa dilaksanakan pada pagi hingga sore hari, karena belum memiliki sarana listrik. “Setiap malam saya menyalakan enam lampu cublik (lampu menggunakan minyak tanah), karena belum ada listrik,” kata Soeloso Kandar Aliadi, mantan pesuruh merangkap penjaga Kampus Ngagel, yang bergabung dengan Ubaya sejak 1968, dan pensiun pada Mei 1985.

Perkuliahan malam hari baru dilaksanakan pada 1974. Sumber listrik diperoleh dari generator set (diesel) merek Honda. “Menurut keterangan, diesel itu bantuan dari Pengadilan Tinggi Jatim. Tugas saya bertambah, melayani kuliah sore dan malam hari, menghidupkan dan mematikan diesel, serta menjaga kendaraan mahasiswa,” kata Soeloso yang tugas sehari-harinya membersihkan ruangan, melayani rektor, dan menjaga kampus siang malam.

Meski kondisi awal kampus ini belum begitu representatif, namun para mahasiswa cukup bangga memilikinya. “Saat itu kami sudah bangga sekali memiliki gedung tersebut, sebab sebelumnya tempat kuliah kan menumpang di berbagai tempat di luar Kampus Bibis. Kini bisa kuliah di kampus sendiri, meski cuma satu gedung saja,” kata Sari Mandiana. Padahal kampus ini belum memiliki tempat parkir.

Lokasi kampus ini pun berada agak di pinggir kota untuk masa 1970-an. Kendaraan umum hanya sampai pertigaan lampu lalu lintas Jl. Ngagel Jaya Selatan-Jl. Ngagel Jaya, kemudian harus dilanjutkan dengan becak. “Jalannya masih becek, selain itu belum ada akses jalan seperti sekarang ini,” tandas Anton yang kelahiran Bangilan (Tuban), 1949. Bahkan Kampus Ngagel ketika pertama kali ditempati masih belum memiliki nomor. Sementara nomor rumah/bangunan yang ada lebih dulu juga tak teratur. “Saya minta salah seorang anggota Dewan Mahasiswa naik sepeda motor menghitung jumlah dari pertigaan Jl. Ngagel Jaya Selatan-Jl. Ngagel Jaya. Ini juga repot, karena masih ada lahan kosong. Dari hasil hitungan itu, kami memasang nomor 169. Kemudian rumah atau bangunan lainnya malah menyesuaikan nomornya dengan Ubaya,” ujarnya.

………………… Bersambung Bagian 2

Referensi :

SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradiagma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999