Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya dengan judul ”CIKAL BAKAL” pada hal. 6-12
CIKAL BAKAL (Bagian 3)
Sesuai kiblat BAPERKI yang kekiri-kirian, seluruh nafas kehidupan Ureca pun dirasuki ideologi PKI. Organisasi kemahasiswaan onderbouw PKI, yakni Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi) mendominasi Dewan Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema). kalangan dosennya pun menjadi anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang juha onderbouw PKI. Himpunan Sarjana Indonesia didirikan pada awal 1962 dan mampu menarik ratusan anggota, bahkan HSI berhasil menarik beberapa intelektual yang sampai saat itu tak mempunyai hubungan dengan PKI. Himpunan Sarjana Indonesia merupakan perhimpunan sarjana lulusan universitas yang pertama (Feith, 1995:144, 172).
Di Ureca, mahasiswa yang tak mau bergabung dengan CGMI dan Perhimi digencet. “Mahasiswa diintimidasi, kalau tidak ikut kelompok mereka, tidak lulus mata kuliah,” kata Wibisono yang kemudian mendirikan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sekaligus menjadi ketuanya. Ketika itu juga terdapat Komisariat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakam Mahasiswa Surabaya (GMS), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Mereka bersatu menghadapi PKI dan onderbouw-nya.
Kegiatan belajar mengajar pun terimbas oleh konflik ideologi tersebut. Dosen yang anggota HSI memberikan penilaian pada mahasiswa berdasarkan latar belakang organisasi kemahasiswaan yang diikuti. Akibatnya, sulit bagi mahasiswa non-CGMI dan Perhimi bisa memperoleh nilai baik. Apalagi soal-soal ujian juga dibocorkan kepada para mahasiswa CGMI melalui kegiatan tentir (belajar bersama untuk persiapan ujian), sehingga mereka selalu mendapat nilai baik. Praktik seperti ini sengaja dilakukan sebagai propaganda agar mahasiswa tertarik untuk bergabung dengan CGMI.
“Ini merupakan cara mereka mengiming-imingi mahasiswa untuk masuk CGMI,” kata Suko, yang pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa masa itu. Mahasiswa yang menolak beragabung dengan CGMI terpaksa mencari terobosan agar bisa memperoleh nilai ujian baik. “Untuk menghadapi itu, saya masukkan teman saya ke dalam kelompok CGMI untuk menjadi semacam spion. Saya minta dia ikut kegiatan tari-tarian mahasiswa CGMI, yang didalamnya ada tentir dan bocoran soal ujian. Bocoran soal itu kami berikan kepada teman-teman yang non-CGMI, sehingga nilai hasil ujian baik semua,” kata Gardjito, yang ketika itu sempat menjadi Ketua Senat Fakultas Hukum. Kuasa rektor Ureca saat itu, Moerachman, S.H., yang juga Walikota Kepala Daerah Kotapraja Surabaya (1964-1965). Di Ureca Surabaya hanya terdapat kuasa Rektor, sementara Rektor Ureca berkedudukan di Jakarta, yakni Ny. Oetami Soerjadharma. “Pak Moerachman terlibat PKI. Ia dicopot dari jabatan walikota, kemudian digantikan Pak Soekotjo,” kata Suko.
Perjuangan Martinus Gardjito, Suko Wasito, Wibisono Hardjopranoto dan kawan-kawan melawan CGMI dan Perhimi berakhir dengan meletusnya peristiwa 30 September 1965 malam, atau Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Kegiatan belajar dan mengajar Ureca (Surabaya maupun Jakarta) dibekukan. Demosntrasi pemuda, mahasiswa dan rakyat mengutuk PKI, serta menuntut pembubaran dan penumpasan PKI, terjadi dimana-mana. Konflik fisik antara massa rakyat yang setia pada Pancasila dan pendukung-pendukung PKI terjadi di Jakarta maupun daerah-daerah, sejak awal Oktober 1965. Panglima Kodam VIII/Brawijaya selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Pepelrada) Jawa Timur, “Mayor jenderal Basuki Rachmat, pada 22 Oktober 1965 membekukan seluruh kegiatan PKI dan organisasi masyarakat yang seazas/berlindung/bernaung di bawah (onder-bow) PKI di wilayah hukum Pelperada Jatim. Organisasi masyarakat PKI itu, antara lain, CGMI; HSI; Baperki; termasuk di dalamnya Perhimi, Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI) dan Universitas Res Publica; Pemuda Rakyat (PR); Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani); Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI).
Pada 12 Maret 1966, berdasarkan wewenang yang bersumber pada Surat Perintah 11 Maret, Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai daerah, beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya. Keputusan ini dituangkan dalam Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi No. 1/3/1966 (Setneg RI, 1981:66, 93) (TAMAT)
Referensi :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999