Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya dengan judul ” LIS VOLAT PROPRIIS” pada hal. 3-5
LIS VOLAT PROPRIIS – (BAGIAN 1)
Meski perayaan Dies Natalis I ini sukses, tantangan yang dihadapi Ubaya justru baru dimulai, terutama soal dana. Pembangunan kampus di jl. Ngagel Jaya Selatan 169 membutuhkan biaya besar, tapi kemampuan finansial Ubaya pas-pasan, kalau tak dapat dikatakan memprihatinkan. Meski pembangunan kembali telah dilakukan pada 11 Maret 1968 (yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Ubaya), hingga 1972, gedung kampus yang hanya satu unit (Gedung B minus B.1.1) itu belum menunjukkan tanda akan selesai, walau tinggal menyelesaikan bagian atapnya. Sementara desakan mahasiswa untuk segera memiliki kampus yang lebih representatif dibanding Kampus Bibis, makin kuat.
Pada saat itulah Ketua Umum Yayasan R. Soekotjo, yang juga Walikotamadya Surabaya (1965-1874) menegaskan, Ubaya bukan milik Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya. “Ubaya bukan universitas yang didirikan Pemda, karena memang Pemda tidak boleh memiliki universitas, sehingga ia bukan menjadi tanggungjawab Pemda, dan tak ada anggaran dari APBD yang bisa digunakan Ubaya,” ujarnya. Pernyataan ini diberikannya menjawab tuntutan Ketua Dewan Mahasiswa (anggota ex-officio Yayasan) ketika itu, Anton Prijatno (Rektor, 1994-1998), dalam rapat yayasan pada 1972.
“Pak Kotjo membangun yayasan pendidikan ini tanpa keinginan untuk menjadikan bagian atau aset dari Kotamadya Surabaya. Misi yang dibawa Pak Kotjo waktu itu adalah niat baik untuk membangun perguruan tinggi ini demi membangun masyarakat supaya bisa mendapatkan pendidikan yang baik,” kata Ny. Siti Soeprati Soekotjo, istri almarhum R. Soekotjo, yang sering mengikuti rapat-rapat awal berdirinya Ubaya, karena selalu diselenggarakan di rumahnya.
Menanggapi penegasan Ketua Umum Yayasan itu, Rektor Prof. Mr.R.Boedisoesetya (1968-1976), dalam rapat itu juga, menyatakan, Ubaya harus bisa terbang dengan sayapnya sendiri (Lis Volat Propriis). Pernyataan ini kemudian menjadi semboyan dan semangat yang tetap tertanam hingga kini. Ubaya adalah self struggle, dan self made. Boedisoesetya dalam berbagai kesempatan selalu menegaskan ulang semangat Lis Volat Propriis ini. Keharusan terbang dengan sayap sendiri ini memang sebuah tantangan, sekaligus cermin kegigihan dan kepercayaan diri untuk tetap survive sejalan dengan semangat Sura ing Baya.
Universitas Surabaya yang memiliki tiga fakultas (Farmasi, Hukum dan Ekonomi) ketika didirikan pada 1968 (sampai dengan 1973), hanya menempati sebuah bangunan tua dua lantai , 22,t x 51 meter, di Jl. Bibis 25-27 – Kawasan pecinan, pusat perdagangan di Surabaya, dengan status hak pakai. Bagian depan bangunan digunakan untuk penyimpanan peti mati milik perkumpulan kematian warga keturunan Tiong-hoa, Hok Kian Kong Tik Soe (sekarang Yayasan Mulia Dharma), dan Kantor Koramil (sekarang Mess Babinsa) ….. BERSAMBUNG BAGIAN 2
Referensi :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999.