Pusat Arsip dan Museum UBAYA
LOADING
Membangun Kemandirian (Bagian 1)
April 28, 2020

Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” MEMBANGUN KEMANDIRIAN” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 28-32

MEMBANGUN KEMANDIRIAN (Bagian 1)

Meski Yayasan Ubaya dikukuhkan Akte Notaris Djoko Soepadmo, S.H., pada 16 April 1968, namun hari jadi Ubaya justru dipilih 11 Maret 1968, satu bulan mendahului pengukuhan tersebut. Pemilihan tanggal itu – yang bersamaan dengan peringatan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret 1966) – bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua pertimbangan yang melandasinya. Pertama, 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat, yang pada pokoknya berisi perintah atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan pemerintah. Surat perintah itu dikenal sebagai Supersemar.

Tindakan pertama yang dilakukan Letjen Soeharto sebagai pengemban Supersemar adalah pembubaran dan pelarangan PKI beserta ormas-ormasnya, pada 12 Maret 1966. Supersemar ditandai dengan koreksi total atas penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama, serta usaha menegakkan pancasila dan UUD 1945 dalam kemurnian pelaksanaannya – yang juga diikuti pembubaran PKI dan penumpasan sisa-sisa G-30-S/PKI. Supersemar memiliki relevansi dengan kelahiran Ubaya – yang merupakan kelanjutan dari Usakti – karena sama-sama dimulai dengan penumpasan G-30-S/PKI, yakni pengambilalihan Ureca, dan pembasmian sisa-sisa G-30-S/PKI di tubuh sivitas akademika Ureca.

Alasan kedua, pada tanggal itu (11 Maret 1966) dilakukan pembangunan kembali kampus di Jl. Ngagel Jaya Selatan 169 oleh Ketua Yayasan, Kolonel Soekotjo, yang ketika itu juga menjabat Walikotamadya Surabaya. Sebelumnya, lahan Kampus Ngagel dijadikan tempat pembuangan sampah Pemda Kotamadya Surabaya, dan ditumbuhi semak belukar. Di situ sudah berdiri sebuah bangunan setengah jadi. Tanah dan bangunan itu peninggalan Ureca.

“Saya mengerahkan mahasiswa untuk menguruk lahan itu. Karena di sana masih sawah, kami uruk bersama mahasiswa dengan kerja bakti, supaya bisa dijadikan bangunan,” kata Suko Wasito menjelaskan keterlibatan mahasiswa Ureca saat mulai memanfaatkan lahan tersebut untuk Kampus. Saat perpeloncoan (kini, Opspek), para mahasiswa baru Ureca dikerahkan melakukan kerja bakti di lahan Jl. Ngagel Jaya Selatan. Kecuali itu, para mahasiswa lama pun memiliki jadwal tetap, setiap hari Minggu. “Waktu itu kerja bakti nggotongi tanah, dioper-oper, ngangkuti batu, dan lainnya,” ungkap Gardjito. Jalan masuk ke lahan itu belum ada (Jl. Ngagel Jaya Selatan belum ada), satu-satunya jalan masuk adalah melalui pematang sawah di sekitar Menur.

Ketika Ureca ditutup saat meletus G-30-S/PKI, kegiatan pembangunan itu terhenti. Lahan tersebut telantar sekitar dua tahun, sampai dilakukan pembangunan kembali, Maret 1968. Bangunan setengah jadi juga dibiarkan ditumbuhi semak belukar, bahkan hampir tenggelam tertimbun lautan sampah. Dalam situasi politik yang masih kacau saat itu, sebagian lahan di-“drop” (dihuni secara liar) oleh oknum-oknum. “Sayang sekali tanah yang diserobot penghuni liar itu berhasil ‘diputihkan’ dengan berbagai cara oleh oknum-oknum birokrat, sehingga akhirnya menjadi daerah pemukiman, sekarang Ngagel Wasana,” ujar Harry Tanudjaja, mahasiswa Ubaya angkatan pertama (1968), mantan Ketua Ikatan Alumni (1993-1997).

Saat Ubaya memulai pembangunan kembali Kampus Ngagel, para mahasiswa pun ikut terlibat aktif secara fisik. “Para mahasiswa dikerahkan mulai menggali pondasi sampai mengambil bahan bangunannya. Kerja bakti yang dilakukan para mahasiswa adalah demi terwujudnya cita-cita memiliki gedung kuliah sendiri, dan tidak lagi menyewa gedung di luar,” kata Robijanto Halimsetiono, S.H., mantan Ketua Umum Ikatan Alumni (1989-1993).

Untuk memperlancar pembangunan satu unit bangunan (Gedung B, minus B1.1) yang terdiri lima ruangan tersebut, Dewan Pengurus membentuk Seksi Usaha yang bertugas menggalang bantuan/sumbangan para dermawan. Seksi Usaha ini diketuai Prof. Mr. Boedisoesetya, sekretaris R. Achmad (Pengawas Keuangan Kabupaten Gresik, yang juga Sekretaris Yayasan), dengan anggota : Kwee Hong Tjwan (Kuasa PT Toko Nam), Oe Siang Djie, S.H. (notaris), R. Rachmad (Pegawai Tinggi diperbantukan Gubernur Jatim), dan  Yap Kian Ping. Berbagai upaya dilakukan untuk bisa memperoleh dana. Di samping mengimbau para dermawan, juga diselenggarakan pentas seni drama, dan undian berhadiah. …

…… Bersambung Bagian 2 

Referensi :

SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradiagma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999