Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” Memompa Optimisme” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 48-53
MEMOMPA OPTIMISME (Bagian 2)
Usul ini disetujui. BKS Dema/Sema meyelenggarakan seminar mengenai PTS, pada 1973, mengundang semua PTS, seperti Usakti Jakarta. Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia pun diundang untuk ikut mensukseskan seminar. Pada seminar itu diserukan agar pemerintah memikirkan dan memberikan dukungan kepada PTS, baik berupa dana maupun kebijakan. ” Tapi karena suasana politik tahun 1973 agak panas, walau kami membicarakan nasib sendiri, nuansa politis juga tak bisa hilang. Ketua Dema UI Hariman Siregar bersama Theo Sambuaga juga datang. Mungkin mereka mengira kami mau bikin aksi, ternyata tidak. Mereka datang sebentar langsung hilang, tak kembali lagi,” ujarnya.
Pada era 1973-1974 muncul kembali gelombang protes mahasiswa. Pemikiran untuk memeriksa kembali strategi pembangunan mulai terdengan dari kampus. Koreksi yang dilancarkan sepanjang 1973 semakin keras ketika Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), J.P. Pronk, berkunjung ke Jakarta. Puncak gejolak terjadi ketika Perdana Menteri Jepang, Kaukei Tanaka dan rombongan berunding dengan Presiden Soeharto dan beberapa menteri Kabinet Pembangunan II di Istana, mahasiswa berpawai dari kampus Universitas Indonesia Salemba ke kampus Universitas Trisakti. Di luar rute itu, saat itu pula di berbagai penjuru Jakarta terjadi aksi massa merusak gedung serta membakar mobil-mobil buatan Jepang. Gerakan mahasiswa yang hari-hari sebelumnya memperoleh nama keramat, karena huru-hara yang melanda Jakarta ini memperoleh sebutan “malapetaka”. Peristiwa itu kemudian dipopulerkan dengan akronim, Malari (Malapetaka 15 Januari) (Mangiang, 1981:101).
Kejadian tersebut menimbulkan akibat politik yang hebat. Pada 31 Januari 1974, semua dewan mahasiswa di Indonesia dibekukan; 143 tokoh mahasiswa, bahkan kemudian bertambah jadi 300 orang ditangkap. Beberapa tokoh diajukan ke pengadilan, antara lain Hariman Siregar dan Sjahrir. Sebagian lagi dilepas tanpa diproses perkaranya. Bersamaan itu pemerintah membredel tujuh surat kabar (Ali, 1985:25).
Eksistensi Dema dikebiri melalui SK Menteri P dan K, Sjarif Thajeb, No. 028/U/1974 tentang Petunjuk-petunjuk Kebijaksanaan Dalam Rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi, pada 3 Februari 1974. Surat Keputusan itu berisi antara lain, pimpinan perguruan tinggi bertanggungjawab sepenuhnya atas segala sesuatu yang berlangsung di dalam kampusnya, dan melarang kegiatan-kegiatan yang bersifat politis yang menjurus kepada pelanggaran ketenteraman dan ketertiban, seperti demonstrasi, pawai, termasuk pawai alegoris, serta seluruh kegiatan Dewan Mahasiswa harus atas izin pimpinan perguruan tinggi, termasuk penyelenggaraan apel dan rapat organisasi mahasiswa (Siregar, 1983:Lampiran IV).
Imbas peristiwa Malari 1974 ini terasa pula di kalangan Dema Ubaya, karena BKS Dema/Sema se-Surabaya dibubarkan. Sebelumnya Dema Ubaya merupakan salah satu sekretariat BKS Dema/Sema se-Surabaya. “Rasa khawatir dan was-was, bahkan saling mencurigai di kalangan mahasiswa pada umumnya, dapat kita rasakan denyutannya. Demikian pula di kalangan mahasiswa Ubaya, terutama di antara para aktivisnya. Namun semua itu dapat dinetralisir setelah ada kejernihan suasana berkat penjelasan-penjelasan yang diterima. Tapi yang tak dapat dipungkiri adanya rasa enggan diri dari beberapa aktivis mahasiswa Ubaya untuk berkecimpung lagi dalam kegiatan kemahasiswaan,” kata Ketua Umum Dema Ubaya 1974-1976, Eko Sugitario dalam Laporan Pertanggungjawabannya di depan sidang Majelis Permusyawaratan Mahasiswa, September 1976.
Sedangkan SK Menteri P dan K No. 028/U/1974 dirasakan kurang pengaruhnya bagi lembaga kemahasiswaan Ubaya. “Karena kami tidak ingin secara langsung melibatkan diri dalam kancah politik aktif, walaupun pancingan-pancingan untuk itu sering kami terima. Hubungan dengan lembaga mahasiswa di luar Ubaya tetap kami bina kelestariannya, misalnya, dengan mengadakan pertandingan olahraga, menghadiri kegiatan yang diselenggarakan kampus lain, maupun saling menukar informasi, dan juga pengiriman buletin, serta pembentukan panitia bersama untuk kegiatan sosial,” ujar Eko dalam laporan pertanggungjawaban tersebut.
Bagaimanapun, pada 1974, perhatian sivitas akademika Ubaya lebih tertuju pada persoalan ” hidup atau mati ” yang tengah dihadapinya. Optimisme demi optimisme terus dibangun untuk bisa bertahan, sambil mencari jalan keluar dari kemelut. Rektor Boedisoesetya tetap tegar dan penuh optimisme berusaha mempertahankan kehidupan Ubaya.
“Dengan sikap yang rendah hati dan terbuka, beliau merangkul pengurus yayasan, para dosen, fungsionaris Deawn dan Senat Mahasiswa untuk bersama-sama memikirkan dan mencari jalan keluar mengatasi krisis tersebut,” kata Harry Tanudjaja. Boedisoesetya yang kondisi kesehatannya kianmenurun, ketika itu usianya 61 tahun – tak segan-segan bersama beberapa pengurus yayasan mendatangi para dermawan, meminta mereka menjadi donatur.
“Anggota yayasan mendatangi teman-teman pengusaha dan menyatakan, ini Ubaya butuh begini. Bagaimana kalau you bantu mencarikan dana. Ya, Rp. 50 ribu, Rp. 100 ribu, sumbangan masuk,” kata Anton. Begitu pula Ketua Yayasan, Soekotjo, setiap bulan dia menyelenggarakan rapat yayasan untuk membahas jalan keluar dari himpitan krisis tersebut, dan terus memberikan dorongan semangat untuk berikhtiar.
Sikap dan tindakan pimpinan yayasan dan universitas ini membesarkan hati sivitas akademika. “Tanpa kemauan keras pengurus yayasan dengan mencari sumbangan seperti mengedarkan ‘batok kelapa’ itu, susah dibayangkan apa jadinya Ubaya. Pasti sulit bertahan,” tandas Hany Natawidjana.
Referensi :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradiagma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999