Pusat Arsip dan Museum UBAYA
LOADING
Menegakkan Pilar Idealisme (Bagian 2)
April 20, 2020

Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya dengan judul ”Menegakkan Pilar Idealisme” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W,  pada hal. 13-16

MENEGAKKAN PILAR IDEALISME (Bagian 2)

Setelah kampus Ureca di Jl. Bibis dan laboratorium Jl. Banyuurip, diambil alih kunci kunci gedung itu diserahkan kepada Soekotjo. “Saya sendiri yang menyerahkan kunci itu kepada Pak Kotjo. Kemudian saya menerima surat bukti tanda terima,” kata Djoko. Penyerahan kunci itu, menurut dia, bukan kepada KMKB Surabaya, tapi Soekotjo pribadi. “Ini karena kedekatan saya dengan Pak Kotjo,” katanya.

Kemudian Soekotjo melapor dan menyerahkan kunci kampus itu kepada Mayjen  Basuki Rachmat, yang menjabat Pangdam VIII/Brawijaya, dan Pepelrada Jatim. Soekotjo sebagai Komandan KMKB Surabaya memang mendapat tugas membubarkan PKI dan menumpas sisa-sisa G-30-S/PKI. Dalam melaksanakan tugas itu, Soekotjo menyadari pembasmian sisa-sisa G-30-S/PKI bukan hanya tugas ABRI, tapi perlu ada partisipasi masyarakat dan mahasiswa, seperti Resimen Mahasurya. “Ketika itu Djoko Soemadio yang menjadi Komandan Mahasurya bersama rekan-rekannya ditugaskan ikut membasmi PKI, terutama menutup sekolah-sekolah yang masih ada orang PKI-nya, termasuk Ureca,” kata Ny. Siti Soeprapti Soekotjo, istri almarhum Soekotjo.

Saat itu, para mahasiswa, pemuda dan pelajar menjadi pelopor aksi-aksi pembersihan di kalangan masyarakat dari unsur-unsur PKI. Mereka kemudian membentuk wadah, Kesatuan Aksi  Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Pejara Indonesia (KAPI), apda 25 Oktober 1965, di Jakarta. Bersama orpol-ormas yang menentang G-30-S/PKI, kesatuan-kesatuan aksi tersebut membulatkan barisan mereka dalam satu front, yakni front Pancasila (Setneg RI, 1981:73). Secara Proforma, kelahiran KAMI disponsori oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, Mayor Jenderal Dr. Sjarief Thajeb. Pembentukan KAMI ini kemudian diikuti oleh daerah lain di Jawa dan di luar Jawa yang terdapat perguruan tinggi (Muhaimin, 1971:179). Badan Federatif yang bersifat ekstra-universitas itu melancarkan aksi pertama 26 Oktober 1966, di Jakarta. Ide yang menggerakkan aksi-aksi mereka datang dari luar kampus, yang kemudian menjadikan kampus sebagai basis untuk bergerak dan melibatkan organisasi intra-universitas (Mangiang, 1981:98).

Kelak ketika Usakti didirikan pada Maret 1966, lima bulan setelah KAMI didirikan , banyak mahasiswa Usakti yang menjadi anggota KAMI. “Waktu itu saya ketuanya. Kami hanya mau menunjukkan di mana-mana ada KAMI. Dan kami pun tak kalah, meskipun dulunya universitas di bawah PKI, ada KAMI-nya juga. Kami ingin menunjukkan mahasiswa di sini juga tidak melempem,” kata Gardjito. Tapi saat pengambilalihan Kampus Ureca serta sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya, KAMI/KAPPI belum terbentuk, karenanya yang bergerak aktif adalah Resimen Mahasurya.

“Indonesia perlu berterima kasih kepada para mahasiswanya, di masa lalu dan kini,” kata Donald Wilhelm dalam bukunya, Indonesia Bangkit (1981). ia menilai peran mahasiswa sangat besar dalam perjalanan politik bangsa Indonesia. Para mahasiswa angkatan 1945 telah ikut membantu Indonesia merebut kemerdekaan. Kemudian mahasiswa angkatan 1966 ikut membantu menaklukkan kaum komunis, dan lahirnya Orde Baru. Juga para mahasiswa angkatn 1970 dan 1980 ikut memainkan peran dalam pembangunan nasional. dan pendapat Wilhelm ini perlu ditambahkan , peran mahasiswa angkatan 1998 yang telah berhasil membidani lahirnya Orde Reformasi, pada 21 Mei 1998, dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden, digantikan B.J. Habibie – yang sebelumnya Wakil Presiden. (TAMAT)

 

Referensi :

SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradigma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999