Tulisan ini diambil dari Buku Membangun Paradigma Baru : 30 tahun Universitas Surabaya 1968-1998 dengan judul ” MEMBANGUN KEMANDIRIAN” yang dikarang oleh Hotman M. Siahaan dan Tjahjo Purnomo W, pada hal. 28-32
MEMBANGUN KEMANDIRIAN (Bagian 2)
” Yayasan menyelenggarakan pertunjukkan teater drama di Balai Sahabat beberapa hari, juga di Mojokerto. Pemainnya para mahasiswa, saya juga ikut jadi pemain, beberapa dosen juga ikut. Itu sekitar tahun 1969. Sutradaranya Pak Tedjo Suwito (The Tjhoen Swie) almarhum,” kata Anton Prijatno, yang juga mahasiswa angkatan pertama (1968).
Hasil penjualan karcis pertunjukkan itu digunakan membiayai pembangunan gedung Kampus Ngagel. Kecuali itu, yayasan sempat mengadakan undian untuk umum berhadiah utama mobil Colt, yang hanya berlangsung satu kali. Kupon undian dijual Rp. 100,00 per lembar. Ini boleh jadi diilhami cara Brigjen. Acub Zaenal, Komandan Kore, 084/Bhaskara Jaya, menggali dana untuk pembangunan Gelora 10 November guna penyelenggaraan PON VII (26 Agustus-8 September 1969) lewat Lotto PON dan Lotto Surya.
Penyelenggaraan pentas drama dan undian ini atas inisiatif yayasan. “Rencana itu dirundingkan dalam rapat yayasan yang di dalamnya ada wakil ex-officio Dewan Mahasiswa. Lalu ada usul bagaimana kalau diadakan pentas drama dan karcisnya dijual. Pemainnya tidak usah dibayar, waktu latihan makan ya makan sendiri, datang ya datang sendiri,” ujar Anton.
Sedangkan Rektor Boedisoesetya, meski dalam kondisi kesehatan yang kurang prima, tidak berpangku tangan. Ia terlibat langsung bersama anggota yayasan lainnya, seperti Bambang Koentjoro, Yap Tjiong Ing, Kwee Hong Tjwan, dan lainnya, menghubungi danmendatangi para dermawan untuk meminta kesediaan mereka menjadi donatur maupun membeli kupon berhadiah. “Dengan sikap rendah hati dan terbuka, Prof. Boedi merangkul pengurus yayasan, para dosen, fungsionaris Dewan/Senat Mahasiswa untuk bersama-sama memikirkan dan mencari jalan keluar mengatasi krisis. Upaya ini mulai menunjukkan keberhasilan, antara lain mengusahakan dana dengan mencari donatur dan mengadakan undian berhadiah,” ujar Harry.
Hasil penghimpunan dana dari berbagai sumber itu, termasuk penyelenggaraan seni drama dan undian berhadiah, didepositokan di sebuah bank swasta. Tapi apa boleh buat, pada 1969, bank tersebut dilikuidasi. Simpanan milik yayasan Ubaya sekitar Rp. 5 juta tak bisa ditarik kembali. “Ya diurus tapi sudah mentok, kira-kira tahun 1969. Uangnya ya hilang betul. Padahal uang itu sedianya untuk biaya penyelesaian pembangunan. Ya nangis betul kami saat itu,” kata Anton.
Perjalanan sejak Usakti hingga menjadi Ubaya selalu saja dihadang kendala finansial, karena memang yayasan tak memiliki sumber dana lain, kecuali pendapatan dari pembayaran uang kuliah mahasiswa. Karena itu, Ubaya sangat ketat dalam menjaga kedisiplinan mahasiswa melunasi uang kuliah. Kelalaian membayar uang kuliah menyebabkan mahasiswa dikenakan skorsing. Kedisiplinan ini sudah diterapkan secara konsisten dan konsekuen pada 1968. Melalui SK No. 1 tahun 1968, tanggal 27 Agustus 1968, misalnya Rektor memberhentikan sementara para mahasiwa yang lalai membayar uang kuliah. Mereka tak diizinkan mengikuti semua kegiatan kurikuler. Apabila sampai 27 September 1968 (satu bulan), mereka masih belum melunasi uang kuliah dan praktikum, mereka diberhentikan sebagai mahasiswa, dan akan diterima kembali sebagai mahasiswa setelah memenuhi semua syarat bagi penerimaan mahasiswa baru.
“Penertiban harus dimulai dari hal yang paling sederhana,” kata Boedisoesetya saat itu menjelaskan alasan mengapa ia begitu bersemangat menertibkan kedisiplinan mahasiswa membayar uang kuliah. Ia juga memberikan contoh, kalau ingin menertibkan warga kota Surabaya, mulailah dari menertibkan, misalnya, bahan bangunan yang ditempatkan seenaknya di depan rumah sehingga menyita badan jalan dan mengganggu ketertiban umum. “Juga tertibkan heewan-hewan, seperti kambing dan sapi yang berkeliaran di jalan umum. tanpa dimulai dari yang paling sederhana, kita tak mungkin bisa menertibkan apa-apa,” tegasnya.
Meski telah ditempuh berbagai upaya untuk meloloskan diri dari himpitan “kemiskinan”, tapi semua itu belum juga mampu membuat Ubaya berbapas lega. Setiap bulan selalu diadakan rapat yayasan untuk membicarakan kondisi Ubaya, dan upaya mencari jalan keluarnya. Pada 21 November 1968, Yayasan Ubaya yang kantor sekretariatnya di Jl. Kartini 7, mengundang semua orangtua/wali mahasiswa di Gedung Balai Sahabat Surabaya, Jl. Genteng Kali untuk membicarakan keadaan suram Ubaya.
Pertemuan tersebut dipimpin Ketua Yayasan, Soekotjo. “Setelah dibuka langsung dijelaskan keadaan Ubaya yang memprihatinkan. Kemudian soal ini dilemparkan kepada peserta pertemuan untuk mendapat jawaban. Apakah Ubaya akan diteruskan atau bubar. Ternyata seluruh hadirin penuh semangat menjawab : diteruskan, dan berjanji mau mendukung dan berperan aktif demi kelangsungan Ubaya,” kata Hari Prajitno, yang ketika itu pengurus Persatuan Orangtua Mahasiswa (POM), yang secara ex-officio menjadi anggota yayasan.
Referensi :
SIAHAAN, Hotman M & Tjahjo Purnomo W, “Membangun Paradiagma Baru : 30 Tahun Universitas Surabaya 1968-1998″, cet. 1, Surabaya : Penerbit Universitas Surabaya, Maret 1999